Saturday, February 19, 2011

Apa yang Salah Dengan Film Impor?, Inilah Alasan Mengapa ada Aturan Pajak Baru bagi Dunia Perfilman Asing

Halo semua !!. Pasti sudah tahu kan dengan ancaman dari Hollywood, Amerika Serikat yang akan menghentikan peredaran film produksi mereka di Indonesia. Beberapa hari terakhir ini kita memang  dikejutkan dengan ancaman dari Hollywood, yang akan menghentikan peredaran film produksi mereka di Indonesia. Pada Jumat tanggal 18 Februari 2011 Motion Pictures Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) mengambil langkah untuk menghentikan distribusi film produksi Hollywood ini di Indonesia sebagai bentuk aksi protes terhadap pengenaan pajak atas hak distribusi film impor. Tentunya hal ini akan sangat mengecewakan masyarakat pecinta film impor yang ada di Indonesia, karena mulai saat ini akan sulit kita temukan lagi film-film Hollywood yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Masa kita mau menonton film horror semi porno yang sedang bergentayangan di Indonesia ini -.-

Namun sebenarnya ketentuan apa yang menyebabkan reaksi keras dari pihak Motion Picture, Hollywood ini? Untuk menjawab rasa penasaran itu, berikut ini penulis sajikan aturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menimbulkan protes keras dari pihak dunia perfilman di Hollywood. Aturan tersebut adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tanggal 10 Januari 2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor.


SE-3/PJ/2011 ini mengacu kepada aturan-aturan perpajakan yang telah ada yaitu:

  1. Pasal 4 ayat (1) huruf h dan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
  2. Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).
Selain itu, SE-3/PJ/2011 ini juga mengacu pada definisi film yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, yaitu bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan atas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.

Penegasan aspek perpajakan yang timbul sehubungan dengan pemasukan film impor dalam SE-3/PJ/2011 ini adalah sebagai berikut:

Pajak Penghasilan

a) atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra;

b) namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor tersebut:
  1. seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau
  2. diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26;

Pajak Pertambahan Nilai

  1. Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar;
  3. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak;
  4. Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor;
  5. Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.
Kemudian, siapa yang salah?. 
apakah DJP/DJBC/BKF/pemerintah??!!!!
atau
pemilik bioskop seperti 21??!!!

Sebenarnya apa yang salah dengan Film Impor/Distribusi Film Impor :

Setiap akhir pekan, gedung bioskop selalu dipadati pengunjung, terutama pasangan muda mudi. Apalagi, jika film-film impor yang sedang hangat terutama produksi Hollywood, untuk mendapatkan tiket saja harus mengantre. Bahkan, terkadang harus memesan beberapa hari sebelumnya.


Sebut saja film-film seperti G.I. Joe, Harry Potter and The Half Blood Prince, Transformer, Terminator Salvation, Angels and Demands, X- Men Origins, 2012, dan Avatar. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta dan tren anak muda suka nonton film, bahkan kecenderungan masyarakat yang mulai menyukai film sebagai salah satu sarana refreshing membuat pasar bioskop Indonesia sangat potensial. Potensi besar tersebut dipastikan dapat menggerakkan perekonomian di dalam negeri jika dikelola dengan baik.

Perolehan dari hasil pemutaran di bioskop Indonesia dari delapan film Hollywood yang telah disebutkan di atas dari data yang saya dapat setelah menjelajah om gugel adalah mencapai US$22,4 juta. Lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang mencapai US$35,5 juta, Malaysia US$37,6 juta, Filipina US$35,7 dan Thailand US$24,0 juta.

Kenapa dengan jumlah penduduk yang lebih besar, tetapi perolehan dari pemutaran film tersebut di Indonesia lebih kecil? Itu menggambarkan potensi film Hollywood di Indonesia belum dikelola dengan baik, karena ada kesalahan sistem peredarannya. Hal ini juga berdampak terhadap produksi dalam negeri.

JAWABANNYA :
Model peredaran film Hollywood yang diimpor tersebut dilakukan secara langsung, sehingga hasil edar harus disetorkan ke produser asing di Hollywood. Ada 3 (tiga) konsekuensi penting dari sistem peredaran langsung tersebut :
Pertama, devisa Indonesia harus lari ke luar negeri akibat film impor itu.

Kedua, peredaran film Hollywood terbatas hanya untuk bioskop yang berada di kota besar. Potensi penonton film di bioskop yang sangat besar menjadi tidak tergarap terutama di daerah-daerah. Sementara itu, hasil dari delapan judul film tersebut diperoleh dari memutar 508 copy mencapai US$22,4 juta atau rata-rata sekitar US$44,000 per copy. Hal itu menggambarkan copy film impor tersebut dapat menguntungkan hingga 44 kali lipat dari biaya cetak copy tersebut yang hanya USS 1.000 per copy. Pertanyaannya kenapa film-film dengan judul tertentu yang peredarannya berhasil dan berlangsung aikup lama tidak diimpor dalam jumlah copy yang banyak. Padahal, jika disediakan lebih banyak copy film, akan lebih banyak lagi bioskop yang me-mutarnya, sehingga jumlah penonton meningkat dan bioskop-bioskop di daerah dapat berkesempatan panen penonton dan memperoleh keuntungan yang cukup besar pula. Tentu saja dengan perolehan keuntungan yang cukup besar, bioskop di daerah dapat membenahi diri, sehingga menjadi lebih nyaman bagi penonton. Karena diimpor dalam jumlah copy terbatas, wajar saja jika banyak bioskop di daerah yang gulung tikar, karena hanya memutar film-film kedaluwarsa. Bahkan sering kali memutar film-film yang berbau mesum, bukan memutar film-film berkualitas.

Ketiga, Tak ada akses Hal itu disebabkan oleh bioskop kecil di daerah tidak memiliki akses mendapatkan copy film-film Hollywood yang menggunakan sistem peredaran melalui distribusi langsung, di mana importir dan distributor hanya dikuasai oleh satu kelompok pengusaha. Kondisi tersebut telah melahirkan dua gugatan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan dugaan adanya monopoli. Sayangnya, secara legal belum ditemukan unsur monopoli, sehingga tidak ada gairah pengusaha untuk membangun bioskop di luar kelompok importir yang juga pemilik jaringan bioskop. Sekitar 19 provinsi di Indonesia tidak memiliki gedung bioskop, sehingga tidak heran kalau hasil edar film Hollywood di dalam negeri kalah jauh dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand yang jumlah penduduknya jauh lebih kecil.

Kelangkaan copy film juga berakibat banyak judul film Hollywood harus diputar di Bandung setelah turun dari Jakarta dan Surabaya. Akibatnya masyarakat Bandung harus menunggu beberapa pekan dan bisa sebulan, bahkan ada yang tidak pernah diputar di Kota Kembang tersebut. Padahal, Bandung, memiliki fasilitas bioskop yang lebih baik dibandingkan dengan Surabaya.

Film-film Hollywood selama ini hanya didominasi oleh importir yang juga pemilik bioskop Twenty One (21), karena grup tersebut pada saat pemerintah Orde Baru mendapatkan fasilitas monopoli impor film dan masih diteruskan hingga sekarang. Kemungkinan karena hanya merekalah yang dikenal Major Studios of USA, yang tidak menjual hak edar filmnya di Indonesia dan lebih senang melakukan distribusi langsung, di mana hasil edamya menjadi hak dari Major Studios tersebut dan harus dikirimkan ke luar negeri.

Berkaitan dengan sistem distribusi langsung dan nilai perolehan yang begitu besar, timbul pertanyaan bagaimana cara penghitungan bea masuk dari film Impor tersebut? Menurut informasi bahwa nilai pabean yang dilaporkan hanya US$0,43 per meter, maka nilai pabean untuk kedelapan film tersebut di atas, yang diimpor dengan hanya 508 copy dan masing-masing 3.000 meter/copy, hanya US$655,320. Oleh karena itu, dengan tarif bea masuk film sebesar 10%, negara hanya mendapatkan US$65,532 atau sekitar Rp625 juta saja dengan asumsi nilai film Rp77,8 juta per judul. Pertanyaannya apakah benar semurah itu harga beli film Impor dari Hollywood yang telah menghasilkan US$22,4 juta lebih atau sekitar Rp220 miliar?

Berdasarkan UU Pabean dan pengertian nilai pabean sebagai nilai transaksi yang sebenarnya dibayar oleh importir, termasuk nilai yang harus disetorkan dari hasil edar, maka seharusnya nilai pabean tersebut US$22,4 juta. Oleh karena itu, bea masuk yang seharusnya masuk ke kas negara dari delapan 8 film tersebut US$2,24 juta atau sekitar Rp22 miliar.

Sistem distribusi langsung film-film Hollywood yang dimonopoli telah mengakibatkan perolehan hasil pemutaran di bioskop tidak transparan. Yang terbuka hanya nilai box office yang diumumkan di website dan tragisnya kalah dengan negara anggota Asean lainnya. Selain itu, model distribusi langsung penunjukan importir tertentu saja telah menyebabkan jutaan dolar hasil edamya harus disetorkan ke luar negeri dan dinikmati segelintir orang pemilik bioskop yang juga merangkap importir film.
Namun, sangat disayangkan tidak memberikan kontribusi kepada Indonesia dalam bentuk nilai bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).


ITULAH MENGAPA PEMERINTAH MENGENAKAN PAJAK BARU BAGI PERFILMAN IMPOR


Sedikit saran untuk Kementrian Keuangan/DJP :
Mungkin agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat, Kementerian Keuangan sebaiknya lebih harus menjelaskan dampak positif dari kebijakan tersebut baik kepada importir film, pengusaha bioskop, maupun masyarakat luas agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat luas. Apalagi media selalu menggembor-gemborkan/memanas-manaskan suasana hingga membuat masyarakat menjadi salah menafsirkannya.

Jika artikel "Apa yang Salah Dengan Film Impor?, Mengapa ada Aturan Pajak Baru Yang Menghebohkan Dunia Perfilman Asing" diatas bermanfaat, mohon share ke teman melalui tombol share di bawah artikel ini :)

Related Post:

4 komentar:

sapri said...

akhirnya saya ngerti juga permasalahan film impor. makasih om!. ijin copas ya

Muhammad Syaroni said...

silahkan...monggo :)

yugo raka said...

maka nya pemerintah/DJP jgn kalah sama media dong. seharusnya DJP/pemerintah ektensif memberikan sosialisasi ke masyarakat, terutama media agar masyarakat tahu apa yg sebenarnya dan tidak terhasut ucapan media yg negatif. masyarakat kan tahu nya pemerintah naikin pajak doang.

Muhammad Syaroni said...

ya,, namun kita pun jg haru membantu DJP memberikan sosialisasi kpd masyarakat. ayo sama2 kita bantu dan dukung DJP lebih baik lagi :)