Saturday, October 16, 2010

PENAGIHAN PAJAK

Penagihan pajak dilakukan berdasarkan dengan undang-undang no 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Ruang linkup undang-undang tersebut berlaku bagi pajak pusat dan pajak daerah. Dalam penagihan pajak pusat, menteri memberi kuasa kepada pejabat untuk melakukan penagihan pajak, sedangkan untuk pajak daerah penagihan pajak dilakukan oleh pejabat setelah diberi wewenang olah kepala daerah. Penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Untuk itu, apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak dengan cara sebagai berikut :


1. Surat Teguran
Menurut undang-undang no 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan undang-undang no 19 tahun 2000, pengertian surat teguran adalah
Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya”.
            Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar penagihan pajak adalah adanya Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah atau tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Apabila Utang pajak tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran sesuai dengan yang ditetapkan melalui surat-surat di atas , maka akan dilakukan penagihan aktif dengan menggunakan  Surat Teguran.
Surat teguran dapat diganti dengan surat lain yang sejenis, akan tetapi maksud diterbitkanya adalah sama yaitu untuk menegur atau memperingatkan wajib pajak agar melunasi utang pajaknya.
Penerbitan surat teguran atau surat lain yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan utang pajak. Apabila setelah diterbitkan surat teguran tetapi wajib pajak belum melunasi utang pajaknya maka akan diterbitkan surat paksa.

2. Surat Paksa
Menurut undang-undang no 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan undang-undang no 19 tahun 2000, pengertian surat paksa adalah :
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak”.

Ada tiga hal yang menjadi latar belakang diterbitkanya surat paksa, yaitu :
a.  Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b.  Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. 
c.  Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa akan diberitahukan oleh jurusita pajak, baik surat paksa untuk wajib pajak pribadi ataupun untuk wajib pajak badan. Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.                                                       Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang samadengan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat pada surat paksa dengan adana kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, kata-kata ini juga terdapat dalam putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.                  Surat Paksa diterbitkan apabila setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran utang pajak tidak dilunasi, dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Apabila surat paksa diterbitkan kurang dari 21 hari setelah Surat Teguran diterbitkan, maka surat paksa menjadi batal, demikian juga dengan surat paksa yang tidak didahului dengan surat teguran dianggap tidak sah. Setelah surat paksa diterbitkan  utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu tersebut, maka akan diterbitkan surat sita.
3. Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Penyitaan merupakan tindakan lanjutan apabila dalam jangka waktu 2x 24 jam setelah diterbitkan surat paksa peanggung pajak belum juga melunasi utang pajaknya.                                                                                                 Penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak terhadap objek sita. Objek sita adalah adalah barang Penanggung Pajak (baik barang bergerak maupun barang tak bergerak) yang dapat dijadikan jaminan utang pajak. Akan tetapi barang tidak semua barang yang dimiliki penanggung pajak dapat disita. Barang-barang yang sangat vital bagi kelangsungan kehidupan penanggung pajak tidak dapat disita. Hal ini bertujuan agar pajak tidak bersifat memberatkan. Barang-barang yang dikecualikan dalam penyitaan adalah sebagai berikut :
a.  Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
b.  Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah.
c.  Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara
d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak, alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.
e.  Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
f.   Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Di dalam penyitaan barang-barang milik penanggung pajak, apabila barang tersebut telah disita terlebih dahulu oleh pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang, maka surat sita diterbitkan kepada pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang tersebut. Selanjutnya, barang-barang yang telah disita tersebut dijadikan sebagai barang tanggungan untuk pelunasan utang pajak.                                         Barang-barang milik penanggung pajak yang disita masih dapat digunakan oleh penanggung pajak dalam keperluanya selama tidak dilakukan pemindahan kekuasaan hukum serta hal-hal yang dapat mengurangi nilai (seperti merusak) barang-barang tersebut.

4. Pelelangan
Menurut undang-undang no 19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no 19 tahun 2000, yang dimaksud dengan lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
Sebelum dilakukan pelelangan oleh pihak yang berwenang, terlebih dahulu diadakan pengumuman lelang. Pengumuman lelang baru dapat dilakukan paling singkat 14 hari sejak penyitaan terhadap barang-barang penanggung pajak dilakukan dan utang pajak belum juga dilunasi oleh penanggung pajak. Setelah diadakan pengumuman lelang tersebut, baru kemudian proses penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara dapat dilakukan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang.
            Tidak semua barang yang disita dapat dijual secara lelang. Barang-barang seperti saham, obligasi, piutang dsb yang telah disita, dikecualikan dari penjualan secara lelang. Ketentuan perlakuan terhadap barang-barang tertentu tersebut diatur dalam pasal 25 Undang-undang no 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
a.  Uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah.
b.  Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya.
c.  yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan.
d. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat.
e.  Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat .
f.   Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
g.  Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.

Hasil dari pelaksanaan lelang dari barang-barang yang disita, terlebih dahulu digunakan untuk melunasi biaya penagihan pajak (termasuk biaya penagihan paksa dan biaya penyitaan), dan sisanya baru digunakan untuk membayar utang pajak. Bila masih tetap ada sisanya akan dikembalikan kepada penanggung pajak yang bersangkutan.
 Apabila penggung pajak menyampaikan keberatan, lelang tetap dapat dilaksanakan sepanjang belum dikeluarkan keputusan terhadap keberatan yang diajukan oleh penanggung pajak.

5. Hak Mendahulu Pajak
           
6. Penagihan Seketika dan Sekaligus
            Dalam pelaksanaan penagihan pajak, tidak sepenuhnya harus dilakukan melalui surat paksa. Penagihan pajak dapat dilakukan dengan menerbitkan surat penagihan seketika dan surat penagihan sekaligus. Yang dimaskud penagihan seketika adalah peangihan secara langsung tanpa harus menunggu waktu jatuh tempo pembayaran. Sedangkan yang dimaksud dengan penagiha selkaligus adalah penagihan yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan tahun pajak. Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila terjadi keadaan sebagai berikut :
a.  Penanggung pajak meninggalkan Indonesia selama-lamanya atau berniat untuk itu
b.  Penanggung pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia ataupun memindahtangankan bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya.
c.  Pembubaran badan atau niat untik membubarkanya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik penanggung pajak.
Sesuai dengan keadaan tersebut, maka bagi penanggung pajak yang beniat untuk meninggakan Indonesia tanpa melunasi utang pajaknya dapat dilakukan tindakan pencegahan. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan pihak keimigrasian.

7. Pencegahan, Penyanderaan, dan Gugatan
            Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam masalah perpajakan, pencegahan dilakukan apabila penanggung pajak memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a.  Syarat kuantitatif, yaitu apabila penanggung pajak mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya seratus juta rupiah.
b.  Syarat kualitatif, yaiu syarat mengenai diragukanya iktikad baik penanggung pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya.
Perlu diketahui bahwa pencegahan yang dilakukan terhadap penanggung pajak tidak menyebapkan utang pajak menjadi hapus.
Penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkanya di tempat tertentu. Syarat dilakukanya penyanderaan sam dengan syarat yang berlaku pada pencegahan, yaitu apabila utang pajak yang ditanggung sekurang-kurangnya seratus juta rupiah dan penanggung pajak diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajaknya.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan setelah diterbitkan surat perintah penyanderaan oleh kepala KPP atau Kepala KPPBB setelah memperoleh ijin tertulis dari Menteri keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur untuk pajak daerah.
Jangka waktu penyanderaan paling lam enam bulan dihitung dari sejak penanggung pajak ditempatkan pada tempat penyanderaan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Walaupun dilakukan penyanderaan, tetapi penanggung pajak masih tetap memperoleh hak-haknya, yaitu :
a.  Mendirikan ibadah
b.  Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak
c.  Mendapat makanan yang layak, termasuk menerima kiriman dari keluarga
d. Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas
e.  Memperoleh bahan bacaan dan sumber informasi lainya atas biaya penanggung pajak yang disandera.
f.   Menerima kunjungan dari keluarga, sahabat, dan dokter pribadi.
Selanjutnya, penanggung pajak dapat dilepas dari penyanderaan apabila telah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.  Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak teah lunas dibayar.
b.  Jangka waktu yang ditetapkan dalam surat penyanderaan telah dipenuhi.
c.  Ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur.
Seperti halnya dengan pencegahan, penyanderaan tidak menyebabpkan utang pajak menjadi hapus. Pada prinsipnya penyanderaan adalah untuk menjaga agar penanggung pajak tidak menyembunyikan harta kekuasaanya.
Selanjutnya masalah gugatan, yaitu merupakan suatu upaya hukum yang dilaksanakan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak yaituu surat paksa, sita dan lelang dan terhadap kepemilikan barang sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang. Gugatan dapat dilakukan kepada lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dalam jangka waktu empat belas hari sejak Surat Paksa, sita dan pengumuman lelang dilaksankan.
Gugatan pada penyanderaan hanya dapat diajukan ke pengadilan negeri. Apabila gugatan penyanderaan ke pengadilan negeri dikabulkan, wajib pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dang anti rugi kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Namun apabila penyanderanya telah berakhir, wajib pajak tidak dapat lagi mengajukan gugatanya kepada pengadilan negeri.


8. Ketentuan  Pidana dalam Penagihan Pajak
            Ketentuan pidana dalam penagihan pajak dimasudkan untukmemberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak. Ketentuan pidana bertujuan agar pihak-pihak yang terlibat dalam penagihan pajak, baik penanggung pajak maupun penagih utang pajak melaksanakan kewajibanya sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.
            Dalam hal penyitaan, bagi penanggung pajak yang melakukan tindakan yang dapat mengurangi nilai dari keseluruhan  barang yang disita maka dapat dikenakan hukuman penjara empat tahun dan denda maksimal dua belas juta rupiah. Sementara itu, di dalam meknisme penyitaan, terdapat barang-barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bagian lelang di atas. Bagi pihak-pihak yang tidak dapat memenuhi mekanisme penyitaan terhadap barang-barang tertentu tersebut dikenakan hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
            Bagi pihak-pihak yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).



Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah



Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)
Barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara :
a.       uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
b.      deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
c.       yang dipersamakan dengan itu, di pindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
d.      obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
e.       obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
f.       piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;
g.      penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.

Related Post:

0 komentar: