Bila ada pertanyaan, senangkah membayar pajak? Pasti jawabannya tidak senang. Berarti tak seorangpun yang senang untuk membayar pajak. Apa benar demikian? Ya! Jadi, untuk apa membayar pajak? Kita membayar pajak karena ada undang-undang yang mengatur setiap orang wajib membayar pajak. Orang bijak sering berkata, hanya ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam sejarah hidup seorang manusia yaitu kematian dan pajak.
Bicara masalah kematian tidak perlu diulas lagi. Tapi bicara masalah pajak pasti menimbulkan pro-kontra dari kalangan akademik, apalagi dari kalangan praktisi dan pengusaha. Pajak merupakan berita tidak menyenangkan (bad news) bagi sebagian masyarakat. Karena memang tidak ada seorangpun yang mau membayar pajak. Tetapi pajak juga bisa menjadi berita menyenangkan (good news) kalau bicara masalah kemaslahatan manusia. Lalu sisi mana yang mau kita lihat?
Begitu banyak cerita pajak dikemukakan para pakar dan pengamat. Satu cerita mengenai tax clearance saja bisa ditanggapi pro dan kontra. Kalangan pengusaha umumnya tidak menyukai kalau ada berita pajak yang akan memberatkan usahanya. Misalnya, rencana pemerintah mengenakan pajak atas pokok deposito, PPN atas premi asuransi, pengenaan pajak atas lalu lintas devisa, atau pajak atas transaksi valas.
Tetapi pajak akan menjadi good news kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan seperti kenaikan batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), kebijakan penghapusan PPN atas avtur bagi perusahaan penerbangan jalur internasional, penghapusan PPN dan pajak-pajak lainnya dalam pembuatan kapal di galangan kapal nasional, penghapusan PPN industri penerbitan buku, pengenaan pajak atas ekspor kakao, rencana pengurangan PPh Badan bagi investor, atau rencana pengampunan pajak (tax amnesty).
Momok pajak
Mengapa pajak selalu menjadi momok yang paling tidak disukai? Ternyata, sejarah perpajakan sejak jaman kerajaan membuktikan kalau pungutan pajak selalu dan selalu saja memberatkan rakyat. Pajak selalu menekan rakyat. Pajak yang dalam literatur dikatakan mempunyai fungsi (alat) demokrasi belum dapat dirasakan. Pembayar pajak belum mendapatkan pelayanan dari seluruh instansi pemerintah. Padahal, pembayar pajak bisa komplain atas seluruh pelayanan yang diberikan pemerintah. Lalu, bagaimana kondisinya sekarang ? Apakah seluruh lapisan masyarakat sudah rela membayar pajak dan mendapatkan pelayanan terbaik dari pemerintah ?
Tampaknya, momok pajak masih terus terjadi walau telah dilakukan reformasi perpajakan dengan sistem yang baru. Buktinya, beberapa menteri kabinet mengecam kinerja Ditjen Pajak dalam acara peluncuran e-registration beberapa waktu lalu. Pajak menjadi momok karena menjadikan sumber biaya tinggi bagi perkembangan ekspor. Pajak menjadi penghambat masuknya investor ke Indonesia. Dunia usaha tidak kompetitif karena adanya unsur pajak yang cukup memberatkan. Kesimpulannya, pajak selalu menjadi 'kambing hitam' atas setiap aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh setiap orang. Bahkan beberapa pengamat menyebutkan adanya ratusan triliun uang pajak yang menguap ( padahal cuma asal ngomong ).
Kalau mengacu pada self assessment sistem perpajakan yang dianut sejak 1983, seharusnya momok pajak yang dialami masyarakat tidak perlu terjadi. Wajib pajak dengan kesadarannya sendiri seharusnya sudah membayar pajak dengan benar (semua penghasilan sudah dilaporkan). Permasalahannya, apakah kewajiban membayar pajak sudah internalize dengan diri setiap orang ? Jawabannya, pasti belum. Karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau (rela) membayar pajak. Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menghindari pembayaran pajak. Dibutuhkan pemahaman yang cukup baik agar tiap orang rela membayar pajak. Pemahaman bahwa manfaat pajak sudah ada sejak seseorang berada dalam kandungan, perlu terus disosialisasikan.
Sosialisasi dimaksud adalah suatu proses di mana Wajib Pajak diajak untuk Pertama, mengetahui; kedua, memahami; ketiga, menghargai, dan keempat, mentaati ketentuan yang ada. Secara sosiologis, Soerjono Soekanto menegaskan bahwa berhasilnya proses sosialisasi tergantung pada tiga faktor, yaitu Pertama, efektifitas dalam melaksanakan kaedah hukum (baca : undang-undang perpajakan)) dalam masyarakat; kedua, adanya reaksi negatif dari masyarakat; dan ketiga, kecepatan menanamkan kaedah-kaedah tersebut di dalam masyarakat. Apabila reaksi negatif dari masyarakat sangat besar, maka efektifitas penanamannya akan berkurang. Demikian pula halnya apabila hendak dicapai suatu hasil dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, diperlukan kecepatan menanamkan undang-undang tersebut.
Proses sosialisasi lintas generasi terlihat dengan dilakukannya ajang pemilihan Arjuna dan Srikandi Pajak. Kaum muda yang terlibat menunjukkan bahwa kaum muda saat ini menjadi penentu kelangsungan hidup bernegara khususnya dalam memahami pajak. Adalah tepat kalau sosialisasi perpajakan sebaiknya dilakukan oleh seorang yang independen, berkepribadian yang baik dan berpenampilan menarik, komunikatif, cerdas, dan sadar akan arti penting pajak.
INGATLAH :
Membayar pajak ternyata tidak hanya memenuhi kewajiban undang-undang, tapi juga berkaitan dengan rasa jiwa kebangsaan. Artinya, wajib pajak yang sudah melaksanakan kewajibannya, di dalam jiwanya tertanam jiwa kebangsaan yang kuat dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Satu contoh menceritakan ketika seorang warga negara Romawi merasa diperlakukan tidak baik dan ia melakukan protes. Warga Romawi tersebut mengatakan bahwa ia telah membayar pajak dan harus diperlakukan dengan baik. Kalau begitu instansi lain di luar pajak wajib memberikan pelayanan kepada semua Wajib Pajak. Kalau saja setiap orang melihat konteks pajak dalam kaitan dengan pelayanan dan jiwa kebangsaan, cerita pajak tidak melulu menjadi buruk tetapi menjadi cerita yang menyenangkan.
0 komentar:
Post a Comment