Bagaimana bisa berharap terlalu banyak pada satu lembaga yang mereformasi sendiri, sementara lembaga lain di sekitarnya tidak memperbaiki diri? Reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak masih mentah karena lembaga lain di sekelilingnya masih menganggapnya sebagai anjungan tunai mandiri.
Ketika kasus makelar pajak yang melibatkan pegawai muda Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, terungkap di media massa, publik terenyak karena yang mereka tahu Ditjen Pajak adalah sasaran utama reformasi birokrasi. Harapan masyarakat sangat jelas, yakni dengan reformasi birokrasi, berlaku prinsip zero tolerance, Ditjen Pajak bebas korupsi.
Kasus Gayus sebenarnya menyiratkan sifat manusia yang serakah. Sebab, pada saat tidak ada peluang untuk menggelapkan uang di kantor pajak, Gayus mencari-cari kesempatan korupsi di tempat lain yang belum direformasi, yakni Pengadilan Pajak.
Perilaku mencari tambahan penghasilan dari sumber ilegal ini tidak terlepas dari budaya korupsi yang sistematis. Sistematis karena petugas pajak muda, seperti Gayus, diwajibkan menyetorkan uang hasil korupsi ke atasannya. Oleh atasannya, uang itu disetor lagi ke lembaga lain di luar Ditjen Pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, budaya korupsi massal ini sudah tidak terjadi lagi di Ditjen Pajak. Namun, bukan berarti lembaga lain di luar Ditjen Pajak menghentikan kebiasaannya menunggu setoran dari Ditjen Pajak.
"Seperti ketika kami melakukan perbaikan di Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok, partner kami di luar, baik sesama institusi pemerintah, mafia, atau oknum, masih menganggap kami tidak berubah perilaku. Kami katakan, kami tidak lagi punya setoran. Mereka malah mengatakan, 'wah sekarang dimakan sendiri'," tuturnya.
Atas dasar inilah, ujar Menkeu, aparat Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai menghadapi tekanan dari lingkungan yang belum berubah. Kedua lembaga ini masih dianggap sebagai "anjungan tunai mandiri" (ATM/sumber dana).
"Sekarang, kalau mereka (aparat Pajak serta Bea dan Cukai) tidak mau dijadikan ATM, mereka harus disiplin dan meningkatkan wibawa. Sebab, di luar, mereka akan menghadapi tekanan dari berbagai institusi. Jangan dikira itu sekadar institusi gelap. Mereka adalah lembaga terhormat juga yang minta dibagi,” ujarnya.
Sri Mulyani tidak menyebutkan besaran uang pajak yang disalahgunakan dan tidak masuk ke kas negara. Namun, sebagai gambaran, ada perhitungan Darmin Nasution saat masih menjabat Direktur Jenderal Pajak tahun 2008.
Menurut Darmin, nilai penerimaan pajak yang tidak tertagih pemerintah tahun 2008 mencapai Rp 300 triliun atau 34,8 persen dari potensi penerimaan maksimum yang diperkirakan Rp 860 triliun. Ini cukup mengkhawatirkan karena dana Rp 300 triliun itu hilang untuk bayar pungutan liar dan suap.
Potensi penerimaan pajak yang hilang itu merupakan tax gap atau kesenjangan antara penerimaan pajak yang seharusnya terhimpun dan realisasi penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan setiap tahunnya.
Nilai tax gap yang terjadi selama ini adalah sekitar 6 persen. Itu berasal dari selisih antara potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima, yakni 20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dan realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun, yaitu sekitar 14 persen terhadap PDB.
Dengan memperhitungkan nominal PDB Indonesia Rp 5.000 triliun, potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima Rp 1.000 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun hanya Rp 700 triliun. Jadi, pajak yang tidak dibayar Rp 300 triliun.
Sebuah koreksi
Sri Mulyani meyakini, kasus Gayus bukanlah sebuah kemunduran dari reformasi birokrasi yang tengah dijalankan Kementerian Keuangan. Munculnya kasus ini menjadi dorongan bagi Kementerian Keuangan untuk koreksi secara menyeluruh.
"Ini adalah koreksi yang sangat berguna. Karena tanpa koreksi, kami tidak akan tahu masih ada yang lemah dalam sistemnya atau ada bidang lain yang perlu direformasi juga. Karena Anda tidak akan bisa melakukan reformasi ketika 'kotak' yang lain tidak direformasi," ujarnya.
Sri Mulyani mengingatkan, reformasi merupakan jalan panjang yang belum tentu akan selesai dalam 20 tahun ke depan. Namun, reformasi tetap perlu dijalankan karena hanya pemerintahan bersih yang sanggup menolong rakyatnya dari tekanan ekonomi yang semakin berorientasi pasar.
"Untuk menyediakan kebutuhan masyarakat, butuh energi. Tidak ada jalan lain, energi itu adalah pajak. Untuk mendapatkan penerimaan pajak yang berlimpah, dibutuhkan birokrasi yang bersih," ujarnya.
Amitrajeet A Batabyal dari Rochester Institute of Technology dan Hamid Beladi dari University of Texas at San Antonio mengingatkan, masalah utama dalam penghindaran pajak adalah perilaku wajib pajak, terutama wajib pajak besar (orang kaya) melaporkan penghasilannya lebih kecil dari yang sebenarnya. Ini menyebabkan pajak penghasilan yang mereka bayar menjadi sangat minim.
Atas dasar itu, audit merupakan salah satu upaya penting untuk memverifikasi kebenaran penghasilan wajib pajak itu. Lalu tegaskan kembali adanya denda pada pembayaran pajak di bawah jumlah seharusnya.
"Ada proporsi yang tetap pada wajib pajak berpenghasilan tinggi yang melaporkan penghasilannya dengan jujur. Dalam konteks ini, dibutuhkan berbagai properti atas suatu kebijakan audit yang kredibel," ungkap Batabyal dan Beladi.
Ketika kasus makelar pajak yang melibatkan pegawai muda Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, terungkap di media massa, publik terenyak karena yang mereka tahu Ditjen Pajak adalah sasaran utama reformasi birokrasi. Harapan masyarakat sangat jelas, yakni dengan reformasi birokrasi, berlaku prinsip zero tolerance, Ditjen Pajak bebas korupsi.
Kasus Gayus sebenarnya menyiratkan sifat manusia yang serakah. Sebab, pada saat tidak ada peluang untuk menggelapkan uang di kantor pajak, Gayus mencari-cari kesempatan korupsi di tempat lain yang belum direformasi, yakni Pengadilan Pajak.
Perilaku mencari tambahan penghasilan dari sumber ilegal ini tidak terlepas dari budaya korupsi yang sistematis. Sistematis karena petugas pajak muda, seperti Gayus, diwajibkan menyetorkan uang hasil korupsi ke atasannya. Oleh atasannya, uang itu disetor lagi ke lembaga lain di luar Ditjen Pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, budaya korupsi massal ini sudah tidak terjadi lagi di Ditjen Pajak. Namun, bukan berarti lembaga lain di luar Ditjen Pajak menghentikan kebiasaannya menunggu setoran dari Ditjen Pajak.
"Seperti ketika kami melakukan perbaikan di Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok, partner kami di luar, baik sesama institusi pemerintah, mafia, atau oknum, masih menganggap kami tidak berubah perilaku. Kami katakan, kami tidak lagi punya setoran. Mereka malah mengatakan, 'wah sekarang dimakan sendiri'," tuturnya.
Atas dasar inilah, ujar Menkeu, aparat Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai menghadapi tekanan dari lingkungan yang belum berubah. Kedua lembaga ini masih dianggap sebagai "anjungan tunai mandiri" (ATM/sumber dana).
"Sekarang, kalau mereka (aparat Pajak serta Bea dan Cukai) tidak mau dijadikan ATM, mereka harus disiplin dan meningkatkan wibawa. Sebab, di luar, mereka akan menghadapi tekanan dari berbagai institusi. Jangan dikira itu sekadar institusi gelap. Mereka adalah lembaga terhormat juga yang minta dibagi,” ujarnya.
Sri Mulyani tidak menyebutkan besaran uang pajak yang disalahgunakan dan tidak masuk ke kas negara. Namun, sebagai gambaran, ada perhitungan Darmin Nasution saat masih menjabat Direktur Jenderal Pajak tahun 2008.
Menurut Darmin, nilai penerimaan pajak yang tidak tertagih pemerintah tahun 2008 mencapai Rp 300 triliun atau 34,8 persen dari potensi penerimaan maksimum yang diperkirakan Rp 860 triliun. Ini cukup mengkhawatirkan karena dana Rp 300 triliun itu hilang untuk bayar pungutan liar dan suap.
Potensi penerimaan pajak yang hilang itu merupakan tax gap atau kesenjangan antara penerimaan pajak yang seharusnya terhimpun dan realisasi penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan setiap tahunnya.
Nilai tax gap yang terjadi selama ini adalah sekitar 6 persen. Itu berasal dari selisih antara potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima, yakni 20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dan realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun, yaitu sekitar 14 persen terhadap PDB.
Dengan memperhitungkan nominal PDB Indonesia Rp 5.000 triliun, potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima Rp 1.000 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan pajak yang dapat dihimpun hanya Rp 700 triliun. Jadi, pajak yang tidak dibayar Rp 300 triliun.
Sebuah koreksi
Sri Mulyani meyakini, kasus Gayus bukanlah sebuah kemunduran dari reformasi birokrasi yang tengah dijalankan Kementerian Keuangan. Munculnya kasus ini menjadi dorongan bagi Kementerian Keuangan untuk koreksi secara menyeluruh.
"Ini adalah koreksi yang sangat berguna. Karena tanpa koreksi, kami tidak akan tahu masih ada yang lemah dalam sistemnya atau ada bidang lain yang perlu direformasi juga. Karena Anda tidak akan bisa melakukan reformasi ketika 'kotak' yang lain tidak direformasi," ujarnya.
Sri Mulyani mengingatkan, reformasi merupakan jalan panjang yang belum tentu akan selesai dalam 20 tahun ke depan. Namun, reformasi tetap perlu dijalankan karena hanya pemerintahan bersih yang sanggup menolong rakyatnya dari tekanan ekonomi yang semakin berorientasi pasar.
"Untuk menyediakan kebutuhan masyarakat, butuh energi. Tidak ada jalan lain, energi itu adalah pajak. Untuk mendapatkan penerimaan pajak yang berlimpah, dibutuhkan birokrasi yang bersih," ujarnya.
Amitrajeet A Batabyal dari Rochester Institute of Technology dan Hamid Beladi dari University of Texas at San Antonio mengingatkan, masalah utama dalam penghindaran pajak adalah perilaku wajib pajak, terutama wajib pajak besar (orang kaya) melaporkan penghasilannya lebih kecil dari yang sebenarnya. Ini menyebabkan pajak penghasilan yang mereka bayar menjadi sangat minim.
Atas dasar itu, audit merupakan salah satu upaya penting untuk memverifikasi kebenaran penghasilan wajib pajak itu. Lalu tegaskan kembali adanya denda pada pembayaran pajak di bawah jumlah seharusnya.
"Ada proporsi yang tetap pada wajib pajak berpenghasilan tinggi yang melaporkan penghasilannya dengan jujur. Dalam konteks ini, dibutuhkan berbagai properti atas suatu kebijakan audit yang kredibel," ungkap Batabyal dan Beladi.
Kami katakan, kami tidak lagi punya setoran. Mereka malah mengatakan, wah sekarang dimakan sendiri.
0 komentar:
Post a Comment